Mengenal Historiografi Kolonial: Sejarah Indonesia dari Perspektif Belandasentris

 Indonesia telah dijajah oleh bangsa Belanda sejak akhir abad ke-16, yaitu tahun 1596 ketika kapal-kapal dari Belanda pimpinan Cornelis De Hautman tiba di pelabuhan Banten. Tidak lama kemudian, kedatangan bangsa Belanda lain yang membawa masing-masing nama perusahaan-perusahaan Belanda menyusul ke Indonesia dengan tujuan untuk kepentingan perdagangan. Menurut Adi Sudirman dalam Sejarah Lengkap Indonesia (2014), terdapat 14 perusahaan Belanda yang telah memberangkatkan 62 kapal ke Indonesia. Kedatangan dan kolonisasi bangsa Belanda itu berakhir sampai pertengahan abad ke-20 yang tepatnya pada 9 Maret 1942 ketika Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang akibat invasinya ke Indonesia era Perang Dunia II.

Jika dihitung sejak awal kedatangan bangsa Belanda sampai berakhirnya di Indonesia, mereka sudah ada di Indonesia selama 346 tahun meskipun tidak seluruh wilayah Indonesia dikuasai oleh Belanda. Namun, daerah Jawa sudah pasti menjadi sentral utama kekuasaan Belanda di Indonesia. Kekuasaan tersebut bernama Hindia Belanda, yakni daerah pendudukan atau kolonisasi kerajaan Belanda yang daerahnya sudah ada sejak masa berdirinya Perusahaan Hindia Timur Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1602.

Selama 346 tahun, tentu terdapat kisah-kisah bersejarah yang direkam atau dicatat oleh pejabat Hindia Belanda, masyarakat pribumi, pedagang, dan lain-lain. Namun, sebagian besar sejarah yang dituliskan menggunakan metode ilmiah atau dikenal dengan historiografi dituliskan oleh para pejabat Hindia Belanda. Hal itu membuat dominannya historiografi kolonial saat berada di era kolonial Hindia Belanda. Historiografi kolonial ini berfokus pada aktivitas orang Belanda di Hindia Belanda sehingga unsur pribumi diabaikan. Hal ini membuat historiografi kolonial bersifat Belandasentris, yaitu sejarah yang hanya memandang pada satu perspektif dalam hal ini adalah bangsa Belanda.

Adapun contohnya dapat dilihat pada peristiwa Perang Diponegoro atau Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Dalam perspektif masyarakat pribumi, Pangeran Diponegoro dipandang sebagai penyelamat masyarakat Jawa atas penindasan pemerintah kolonial, bahkan sebagian menyebutnya sebagai ratu adil (seorang figur penyelamat masyarakat yang akan membawa keadilan). Namun, hal itu berbeda pada perspektif masyarakat kolonial Belanda bahwa dia adalah seorang pemberontak yang membawa kehancuran bagi daerah Jawa. Karena Indonesia pada saat itu sedang berada di bawah kekuasaan Belanda (Hindia-Belanda), hal itu membuat historiografinya ditulis oleh pejabat kolonial Hindia Belanda berdasarkan dari perspektifnya.

Adapun ciri-ciri historiografi kolonial, diantaranya:

  1. Bersifat Eropasentris yang mengarah ke Belandasentris sehingga tulisan sejarahnya hanya berdasarkan dari perspektif orang Eropa, khususnya aktivitas orang Belanda di Hindia Belanda
  2. Sumber sejarah berasal dari arsip-arsip pemerintah Belanda termasuk pemerintah kolonialnya
  3. Tulisannya mengandung unsur diskriminatif, yaitu bangsa Belanda adalah orang yang mulia, agung, dan terhomat, sedangkan unsur pribumi diabaikan dan dianggap sebagai alat untuk memenuhi kepentingan bangsa Belanda.
  4. Bentuk tulisannya berupa laporan-laporan yang ditulis oleh pejabat-pejabat Hindia Belanda mengenai kondisi masing-masing wilayah kekuasaannya. Hal itu membuat sumber-sumber sejarahnya dibuktikan pada data statistik dan peta wilayah suatu daerah.

Peran Penulis Belanda dalam Historiografi Kolonial

Cikal bakal historiografi kolonial berasal dari seseorang bernama J.K.J. De Jonge. Dia adalah seorang pekerja pada Arsip Kerajaan Belanda sejak tahun 1854. Berdasarkan dari pengalaman bekerja, dia menerbitkan 10 jilid seri dokumen mengenai perkembangan kekuasaan bangsa Belanda di Hindia Belanda. Alasan dia perlu membuat historiografi pada perspektif Belanda adalah memperkuat kekuasaan Hindia Belanda melalui visi masa lalu sejak kedatangan bangsa Belanda.

Keberhasilan De Jonge membuat F. de Han, seorang Kepala Arsip Negara di Batavia terinspirasi untuk menjadikan arsip sebagai satu-satunya sumber primer yang harus digunakan oleh para sejarawan jika ingin menulis suatu sejarah. Kebetulan juga bahwa arsip Belanda hanya mendokumentasikan arsip-arsip aktivitas bangsa Belanda sejak VOC berdiri sampai pemerintah kolonial pada saat itu. Hal tersebut membuat sejarah aktivitas masyarakat pribumi terabaikan dari sumber penulisan sejarah kolonial Belanda meskipun dia adalah pemeran atau tokoh sejarah dalam wilayahnya sendiri.

Adapun penulisan sejarah dengan hanya menggunakan arsip Belanda sebagai satu-satunya sumber primer dan mengabaikan sumber nonarsip dari para pedagang serta pribumi disebut dengan mahzab Batavia. Adapun orang-orang yang menganut mahzab Batavia, seperti Mr. J.A. van der Chijs, Ds. J. Mooij, dan Mr. P.C. Bloys van Treslong Prins.

Selama periode kolonial di Indonesia, para sejarawan Belanda banyak menuliskan karya-karya sejarah dengan perspektif Belandasentris. Adapun karya-karyanya, seperti reizen (catatan perjalanan) yang ditulis oleh Nicholaus de Graff, Geschiedenis van Indonesie (Sejarah Indonesia) yang ditulis oleh H.J. de Graaf, Geschiedenis van den Indischen Archipel (Sejarah Kepulauan Hindia) yang ditulis oleh B.H.M. Vlekke, Schets eener Economische Geschiedenis van Nederlands-Indie (Kondisi Ekonomi Hindia Belanda) yang ditulis oleh G. Gonggrijp, dan Geschiedenis van Nederlands-Indie (Sejarah Hindia Belanda) yang ditulis oleh para sejarawan dengan Dr. F.W. Stapel sebagai editornya.

Geschiedenis van Nederlands-Indie (Sejarah Hindia Belanda)

Dari semua karya-karya historiografi kolonial tersebut, Geschiedenis van Nederlands-Indie adalah salah satu karya yang dianggap sebagai puncak penulisan sejarah kolonial Hindia Belanda. Karya tersebut terdiri dari enam jilid yang diterbitkan secara bertahap dari tahun 1938 sampai 1940.

Adapun jilid pertama ditulis oleh Dr. A.N.J. Thomassen A. Thuessink van der Hoop dengan pembahasannya mengenai masa prasejarah di Indonesia. Masa prasejarah berakhir dengan ditandai pembahasan selanjutnya mengenai kerajaan Hindu di Jawa dan Kalimantan yang ditulis oleh Prof. Dr. N.J. Krom. Kemudian, dilanjutkan pada pembahasan mengenai kesultanan Islam yang ditulis oleh R.A. Kern.

Jilid kedua adalah pembahasan istimewa mengenai aktivitas-akvititas di Jawa sehingga jilid ini dinamai Javaansche Geschiedschrijving atau Historiografi Jawa yang ditulis oleh Prof. Dr. C.C. Berg. Pada jilid ini, pembahasan berfokus pada sejarah kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia. Pembahasan awal ditulis oleh C. Wessels S.J. yang membahas tentang kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol. Selanjutnya, sejarah kedatangan Perancis, Inggris, dan Belanda ditulis oleh Dr. H. Terpstra.

Pada jilid ketiga, pembahasan mulai memasuki bagian kolonisasi Belanda di Indonesia yang diawali dengan pembentukan VOC. Pembahasan ini ditulis oleh Dr. F.W. Stapel yang berakhir pada abad ke-17. Jilid keempat adalah kelanjutannya yang ditulis oleh Prof. Dr. E.C. Godee Molsbergen pada periode abad ke-18.

Jilid kelima membahas tentang perpindahan pemerintahan dari Belanda – Perancis – Inggris sampai ke tangan Belanda kembali. Pembahasan ini diawali dengan pendudukan republik Batavia yang berada di bawah kepempimpinan Perancis. Pembahasan ini ditulis oleh Dr. F.W. Stapel.

Jilid keenam adalah pembahasan terakhir mengenai Hindia Belanda di zaman modern. Hal itu disebabkan dari adanya invasi Jepang ke Hindia Belanda pada Maret 1942 sehingga jilid ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Pembahasan ini ditulis oleh Dr. I.J. Brugmans.

Berdasarkan pada jilid-jilid buku tersebut, hanya satu bab saja yang membahas tentang sejarah bangsa Indonesia, sedangkan bab lain membahas tentang aktivitas bangsa Eropa terutama Belanda di Indonesia. Tentu, sebagian dari mereka mengabaikan sumber-sumber sejarah dari pribumi dan memandang mereka sebagai figuran belaka alias tidak penting dalam sejarah kolonial. Belanda digambarkan sebagai orang yang dapat memajukan peradaban, sedangkan pribumi digambarkan sebagai orang yang terpinggirkan meskipun mereka adalah penduduk asli di wilayah itu. Dengan demikian, peran sejarawan Belanda yang menuliskan historiografi kolonial memiliki pengaruh besar dalam memberitahukan sejarahnya kepada para pelajar saat itu berdasarkan pada perspektif Belandasentris.

Sumber:

Hasnawati (2020) Ciri-Ciri Historiografi Tradisional, Kolonial, dan Modern. Takalar: Direktorat SMA, Direktorat Jenderal PAUD, DIKDAS dan DIKMEN.

Sudirman, A. (2014) Sejarah Lengkap Indonesia. Yogyakarta: Diva Press.

Syukur, A. (2010) ‘Historiografi Belandasentris; Pembentukan dan Perkembangannya’, Lontar, 07(02), pp. 41–49.

Komentar